Senin, 06 Mei 2013

WASIAT RASULULLAH DENGAN AL QUR'AN


WASIAT RASULULLAH DENGAN AL QUR'AN

http://3.bp.blogspot.com/-XSQme1nPZGI/T4mQSuNksGI/AAAAAAAAAio/Goy5XWZ-a4g/s1600/wasiat+rasulullah.jpg


Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali radhiallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah adalah adanya riwayat-riwayat palsu yang menyebutkan tentang wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu di Ghadir Khum. Padahal ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau tidak memberikan wasiat berupa apapun dan kepada siapapun, kecuali dengan al-Qur’an. Diriwayatkan dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Thalhah ibnu Musharif, bahwa dia bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هَلْ أَوْصَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لاَ قُلْتُ فَكَيْفَ كُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْوَصِيَّةُ أَوْ فَكَيْفَ أُمِرُوا بِالْوَصِيَّةِ قَالَ أَوْصَى بِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه البخاري ومسلم).
Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi Aufa: “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat?” Beliau menjawab: “Tidak.” Maka saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia pesan-pesan atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau mewasiatkan dengan kitabullah ‘azza wajalla”. (HR. Bukhari; Fathul Bary 3/356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Wasiat 3/1256, hadits 16).

Demikian pula diriwayatkan dari ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau mening-gal di pangkuannya, tentunya beliau lebih tahu apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلاَ شَاةً وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ أَوْصَى بِشَيْءٍ. (رواه مسلم)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun. (HR. Muslim, dalam Kitabul Wasiat, 3/256, hadits 18)

Dalam riwayat lainnya dari Aswad bin Yazid bahwa ia berkata:
ذَكَرُوا عِنْدَ عَائِشَةَ أَنَّ عَلِيًّا كَانَ وَصِيًّا فَقَالَتْ مَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ فَقْدُ كُنْتُ مُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي أَوْ قَالَتْ حِجْرِي فَدَعَا بِالطَّسْتِ فَلَقَدِ انْخَنَثَ فِي حِجْرِي وَمَا شَعَرَتْ أَنَّهُ مَاتَ فَمَتَى أَوْصَى إِلَيْهِ. (رواه البخاري ومسلم).
Mereka menyebutkan di sisi Aisyah bah-wa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku –atau ia berkata: pangkuanku—kemudian beliau meminta segelas air. Tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa kalau beliau ternyata sudah meninggal, maka kapan beliau berwasiat kepadanya?”. (HR. Bukhari dalam kitab al-Washaya, Fathul Bari 5/356, hadits 2471; Muslim dalam kitabul Washiyat, Bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, 3/1257, no. 19)

Demikianlah, riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga mereka –para shahabat– seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah al-Qur’an. Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara ahlul bait. Sebagian di antara mereka menyatakan cukup al-Qur’an, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sallam menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
إِنَّ الرَزِيَةَ كُلَّ الرَّزِيَةِ مَاحَالَ بَيْنَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَبَيْنَ أَنْ يَكْتُبَ لَهُمْ ذَلِكَ الْكِتَابَ مِنِ اخْتِلاَفِهِمْ وَلِغْطِهِمْ (رواه البخار ومسلم).
Sesungguhnya kerugian segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menulis wasiat kepada mereka, karena adanya perselisihan dan silang pendapat di antara mereka. (HR. Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Wasiat, bab Tarkul Wasiat liman laisa lahu Syaiun Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)

Dalam memandang kejadian ini, ahlus sunnah wal jama’ah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi ke-pada ahlu bait dan keluarga dekat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau yang lain merasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, sehingga tidak perlu diganggu. Sedangkan kita sudah memiliki al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam –kata mereka. Yang dimaksud adalah ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللهِ. (رواه مسلم)
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelah-ya jika kalian berpegang teguh dengan-ya yaitu kitabullah (al-Al-Qur’an). (HR. Muslim)

Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidlah menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para shahabat. Mereka menuduh perbuatan para shahabat itu untuk menghalangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan merebut tampuk kepemimpinan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diberikannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ucapan mereka ini jelas batil dan penuh dengan kedustaan, karena pada waktu itu Abu Bakar sendiri tidak berada di sana. Beliau berada di daerah Sunh –di pinggiran kota Madinah– yaitu berada di rumah salah satu istrinya yang lain. Bahkan ucapan mereka ini justru mencerca dan mencela ahlul bait sendiri. Untuk itu mereka tidak pantas disebut pecinta ahlul bait. Lihatlah dalam riwayat yang lebih lengkap sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْعِهِ الَّذِي تُوُفِّىَ فِيْهِ فَقَالَ النَّاسُ: يَا أَبَا الْحَسَنِ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ الْعَبَّاسُ فَقَالَ لَهُ أَلاَ تَرَاهُ أَنْتَ وَاللهِ بَعْدَ ثَلاَثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَاللهِ إِنِّي َلأَرَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ تُوُفِّىَ فِي وَجْعِهِ وَإِنِّي َلأَعْرِفُ فِي وُجُوْهِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ الْمَوْتَ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَسْأَلُهُ فِيْمَنْ هَذَا اْلأمْرُ؟ فَإِنْ كَانَ فِيْنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإْنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَا ذَلِكَ فَأَوْصَى بِنَا. قَالَ عَلِيُّ وَاللهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعْنَاهَا لاَ يُعْطِيْنَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللهِ لاَ أَسْأَلُهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau menjawab: “Alhamdulillah baik”. Abbas bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya: “Engkau, demi Allah, setelah tiga hari ini akan memegang tongkat kepemimpinan. Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan wafat dalam sakitnya kali ini, karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muthalib ketika akan wafatnya. Marilah kita menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan kepada siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita mengetahuinya. Dan kalau pun diserahkan untuk selain kita, maka kitapun mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya”. Ali bin Abi Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak memberikannya kepada kita, maka tidak akan diberikan oleh manusia kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari, kitabul Maghazi, bab Maradlun Nabiyyi wa wafatihi; fathlul bari 8/142, no. 4447)

Berkata Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi: “Tidakkah cukup nash ini untuk membantah Rafidlah yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan khilafah? Kedustaan mereka tampak jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi: 1. Penolakan Ali radhiallahu ‘anhu untuk meminta khilafah atau menanyakannya. 2. Kejadian tersebut terjadi pada waktu wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (yang membuktikan bahwa beliau tidak berwasiat apapun –pent.). 3. Kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali radhiallahu ‘anhu tentu dia akan menjawab kepada Abbas: “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?”. (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidlah, Abu Nu’aim al-Asbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi dalam foot notenya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidlah bil Yahuudi, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili) Dalam riwayat ini terlihat jelas sekali bahwasanya yang menolak untuk memin-ta wasiat kepada Nabi adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri. Masih banyak lagi riwayat-riwayat lainnya tentang kejadian ini, karena pada saat itu memang beberapa hadirin ikut berbicara sehingga suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun. Kemudian bagaimana mereka –kaum syi’ah tersebut— menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika beliau berada di Ghadir Khum. Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sendiri, padahal mereka mengaku pecinta ahlul bait?! Kalau mereka benar-benar cinta kepada ahlul bait dan mengaku pengikut setia ahlul bait khususnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka dengarkanlah riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
عَنْ أَبِي الطًُّفَيْلِ قَالَ سُئِلَ عَلِيٌّ أَخَصَّكُمْ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ بِشَيْءٍ فَقَالَ مَا خَصَّنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْءٍ لَمْ يَعُمْ بِهِ النَّاسَ كَافَّةً إِلاَّ مَا كَانَ فِي قُرَابِ سَيْفِي هَذَا قَالَ فَأَخْرَجَ صَحِيْفَةً مَكْتُوْبٌ فِيْهَا لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ… (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali radhiallahu ‘anhu ditanya: “Apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan sesuatu kepadamu? (yakni wasiat khusus, pent.). Maka beliau menjawab: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)

Demikianlah, tidak akan diterima sebuah pengakuan tanpa bukti, maka tidak bisa diterima pengakuan Syi’ah Rafidlah di atas.

Wallahu a’lam. Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Tidak ada komentar: