Senin, 06 Mei 2013

             Tegar Menyampaikan Kebenaran


Penulis : Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah
Mendakwahkan dan menyampaikan kebenaran adalah perkara besar. Tidak setiap orang layak menyandangnya, sebab dakwah butuh kesabaran dan pengorbanan harta benda dan jiwa. Seorang yang menyampaikan kebenaran harus istiqomah dalam dakwahnya agar ia senantiasa didoakan dan diiringi oleh para malaikat dalam dakwahnya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (30) نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ (32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33)  [فصلت/30-33]
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu”.  Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat : 30-33)
Perhatikanlah orang-orang yang istiqomah (tegar) di atas amal ketaatan kepada Allah; ia akan selalu diiringi pertolongan dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan dilapangkan dadanya oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Al-Imam Abul Faroj Abdurrahman Ibnul Jawziy -rahimahullah- berkata saat menerangkan makna ucapan para malaikat yang terdapat dalam ayat-ayat di atas,
“Maknanya, kamilah yang akan menjadi pengurus-pengurus kalian di dunia. Karena, para malaikat hanyalah mengurusi dan mencintai orang-orang beriman, disebabkan oleh sesuatu yang mereka lihat berupa amal-amal sholih mereka yang terangkat ke langit. Di akhirat nanti kami akan bersama kalian, tidak akan meninggalkan kalian sampai kalian masuk surga”. [Lihat Zaadul Masir (5/304) oleh Ibnul Jauziy Ad-Dimasyqiy]
Sebagian para muballigh dan da’i ada yang melanggar ayat-ayat ini sehingga merekapun segan menyampaikan kebenaran, bahkan berusaha menyembunyikannya bila mereka berdakwah di tengah masyarakat. Apalagi jika mereka berdakwah di tengah orang-orang yang memiliki kedudukan dan kharisma di masyarakat. Tujuannya bukanlah menyampaikan kebenaran. Tujuannya hanyalah menyenangkan masyarakat dan mengikuti selera mereka, dengan dalih bahwa ia mengikuti selera mereka, walaupun itu maksiat, demi mendekati dan menarik hati mereka.
Jalan dakwah seperti ini menyalahi jalan dakwah yang pernah digariskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa tugas seorang da’i adalah menyampaikan amanah dakwah dari Allah, tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ  [النور : 54]
“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang“. (QS. An-Nuur : 54)
Seorang da’i bukanlah diktator yang memaksakan manusia seluruhnya harus beriman!! Sebab keimanan itu adalah hidayah. Sedang hidayah hanyalah di tangan Allah. Kita sebagai da’i hanyalah diperintahkan menyampaikan tugas dakwah dan penjelasan kepada manusia tentang jalan kebenaran yang harus diikuti dan jalan kebatilan dan keburukan yang harus dijauhi!!
Allah -Azza wa Jalla- berfirman
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (22) [الغاشية : 21 ، 22]
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.  Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka“.

Sebuah kesalahan besar bila seorang berdakwah dengan memegang prinsip bahwa dirinya siap menjadi “bagaikan lilin yang meleleh yang rela menghancurkan dirinya demi menerangi yang lain“. Prinsip seperti ini adalah prinsip yang batil. Allah telah mencela Bani Israil yang telah manusia, namun ia mengorbankan dirinya dan melakukan maksiat.
Allah -Ta’ala- berfirman,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ  [البقرة : 44]
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqoroh : 44)
Al-Imam Abul Khoththob Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy -rahimahullah- berkata,
كان بنو إسرائيل يأمرون الناس بطاعة الله وبتقواه وبالبر ويخالفون، فعيرهم الله.
“Dahulu Bani Isra’il memerintahkan manusia untuk berbuat ketaatan dan bertaqwa kepada Allah serta berbakti kepada-Nya. Namun mereka menyelisihinya. Karenanya, mereka dikecam oleh Allah”. [HR. Ath-Thobariy dalam Jami' Al-Bayan (843) dengan sanad yang hasan]
Inilah keadaan sebagian da’i yang tidak konsisten dan tegar memegang prinsip-prinsip agama dalam berdakwah, sehingga ia pun mengikuti selera masyarakat yang ia dakwahi. Jika masyarakatnya senang musik, maka ia pun “menghalalkan” musik demi menjaga perasaan mereka agar tidak tersinggung dan menjauh dari agama dan dakwah Islam. Jika masyarakatnya senang berbuat bid’ah, maka ia pun sengaja larut di dalamnya demi menjaga kemaslahatan dakwah, menurut sangkaannya!! Jika rakyat suka melawak dan melucon, maka ia pun mengubah dirinya sebagai “pelawak”, bahkan lebih dari sekedar pelawak!!! Padahal ia tahu bahwa melawak bukanlah jalan dakwah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan beliau melarang kita banyak tertawa.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَا تُكْثِرُوْا الضَّحْكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحْكِ تُمِيْتُ الْقَلْبِ
Janganlah kalian memperbanyak tertawa karena memperbanyak tertawa bisa mematikan hati“. [HR. At-Tirmidzy dalam Sunan-nya (2305) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4193). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (506)]
Jika masyarakat senang menonton film, maka mereka pun membuat sandiwara dan film sebagai jalan dakwah yang mereka tempuh. Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mencontohkan dakwah melalui sandiwara dan pertunjukan.
Para pembaca yang budiman, seorang da’i harus tegar dalam dakwahnya, jangan goyah dengan macam rintangan yang akan melencengkan dirinya dari petunjuk Allah -Azza wa Jalla- dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
(ألا لا يمنعن رجلا هيبةُ الناسِ أنْ يقولَ بحقٍّ إذا عَلِمَه)
“Ingatlah, wibawa manusia janganlah menghalangi seseorang dari mengucapkan kebenaran, bila ia mengetahuinya”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2191) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4007). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib (2751)]
Ulama Negeri Syaikh, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat larangan kuat dari menyembunyikan kebenaran, karena takut kepada manusia atau karena ingin kehidupan dunia. Setiap orang yang menyembunyikannya, karena takut gangguan mereka dengan suatu jenis gangguan, seperti, pemukulan, celaan, diputuskannya rezki, atau karena takut kalau manusia tidak menghormatinya dan sejenis itu, maka orang seperti ini masuk dalam larangan ini dan ia menyelisihi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jika demikian halnya keadaan orang yang menyembunyikan kebenaran, sedang ia tahu. Nah, bagaimana lagi dengan kondisinya orang yang tidak cukup melakukan hal itu. Bahkan ia memberikan persaksian batil atas kaum muslimin yang bersih (dari tuduhan) dan menuduh mereka dalam agama dan aqidahnya demi sejalan dengan orang-orang rendahan atau karena takut jika mereka menuduhnya juga dengan batil jika ia tidak sejalan dengan mereka di atas kesesatan dan tuduhannya”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/325)]
Para pembaca yang budiman, sesungguhnya dakwah Islam yang diemban oleh seorang da’i adalah dakwah yang universal, mencakup semua golongan, baik rakyat, maupun pemerintah. Di saat rakyat butuh bimbingan, maka kita ajak ia kepada kebaikan. Demikian pula, ketika penguasa memerlukan nasihat dan arahan, maka seorang da’i harus mengarahkan mereka kepada jalan-jalan kebaikan yang ia ketahui. Janganlah ia menyembunyikan kebenaran di depan pemerintah, karena segan dan takut. Jangan pula bertoleransi dan mencari-cari muka dan menjilat di depan mereka sampai harus meninggalkan dan menyelisihi petunjuk Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Tapi bersabarlah menghadapi dan mendakwahi mereka, karena sesungguhnya nasihat bagi mereka merupakan jihad yang paling utama. Sebab, dengan baiknya mereka, maka ikut baiklah seluruh rakyatnya.
Jangan gentar dengan ancaman dan kekuatan mereka. Masuklah menghadap kepadanya dengan segala adab-adab yang baik dalam menasihatinya. Nasihatilah pemerintah dengan nasihat yang tersembunyi, dengan kalimat yang lembut dan penuh kasih sayang sambil mengingatkan akibat yang akan ia rasakan dan masyarakatnya jika senantiasa durhaka kepada Allah -Azza wa Jalla-. Yakinlah dengan usaha dan tawakkal yang benar, nasihatmu –wahai para da’i- akan diterima oleh mereka. Jika mereka menolaknya, maka bersabarlah kalian.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah ia menampakkan secara terang terangan. Akan tetapi hendaknya ia ia mengambil tangannya agar ia bisa berduaan. Jika ia terima ,aka itulah yamg diharap, jika tidak maka sungguh ia telah menunaikan tugas yan ada pada pundaknya”. [HR Ahmad dalam Al-Musnad (3/403-404) dan Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096, 1097, 1098). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 514)]
Al-Imam Muhammad bin Ali As-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya bagi orang yang nampak baginya kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa, dan tidak menampakan celaan padanya didepan publik”.
[Lihat As-Sail Al-Jarrar (4/556) karya Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy]
Sekali lagi, lakukanlah tugas nasihat ini dengan penuh keikhlasan, sebab ia adalah amalan utama. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
ألا إن أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر”
“Ingatlah, sesungguhnya jihad yang paling utama, kalimat yang haq di sisi penguasa yang curang”. [HR. Abu Dawud (4344), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2174), Ahmad dalam Al-Musnad (3/19) dan Al-Qudho'iy dalam Musnad Asy-Syihab (no. 1141)]
Di hari-hari yang seperti ini, seorang muslim (khususnya, da’i) amat membutuhkan kesabaran dalam menghadapi dan mengatasi problematika umat yang tengah tenggelam dalam gulita maksiat.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ.
“Akan datang suatu zaman, orang yang bersabar di atas agamanya laksana orang yang menggenggam bara api”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2260). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' Ash-Shoghir (8002)]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ ، فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا ، وَيُمْسِي كَافِرًا ، يَبِيعُ قَوْمٌ دِينَهُمْ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا قَلِيلٍ ، الْمُتَمَسِّكُ يَوْمَئِذٍ بِدِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Kecelakaanlah bagi orang-orang Arab karena keburukan yang sungguh telah mendekat berupa fitnah-fitnah (ujian dan problema keimanan, pen.) ibarat potongan-potongan malam yang gulita. Seseorang beriman di waktu pagi dan menjadi kafir di waktu sore. Suatu kaum akan menjual agamanya dengan barang-barang dunia yang sedikit. Orang yang berpegang teguh dengan agamanya pada hari itu laksana orang yang menggenggam bara api”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/390), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (70/35) dan Ibnu Wadhdhoh dalam Al-Bida' wan Nahyu anha (hal. 77). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syu'aib Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. )]
Al-Imam Ali bin Sulthon Al-Qoriy -rahimahullah- berkata,
“Lahiriah hadits ini bahwa maknanya, sebagaimana halnya tidak mungkin akan menggenggam bara api, kecuali dengan kesabaran yang tinggi dan menanggung kuatnya rasa susah, maka demikian pula di zaman itu, tidak mungkin dibayangkan seseorang menjaga agama dan cahaya imannya, kecuali dengan kesabaran yang besar dan rasa penat yang berat”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/445)]
Al-Imam Abu Ishaq Burhanuddin Umar bin Ibrahim Al-Ja’buriy -rahimahullah- berkata,
“Zaman ini adalah zaman kesabaran. Karena, sungguh perkara yang ma’ruf (yang baik) telah diingkari, perkara mungkar dikenal (yakni, dilakukan), niat telah rusak, sifat khianat telah tampak, orang memperjuangkan kebenaran disakiti dan orang yang memperjuangkan kebatilan dimuliakan”. [Lihat Mirqoh Al-Mafatih (15/307)]
Di akhir zaman seperti ini maksiat, kekafiran dan kesyirikan merajalela dan tersebar dimana-mana sampai semua pelanggaran ini menutupi kebaikan dan pelakunya. Orang-orang yang menjunjung tinggi sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan mengamalkannya dijauhi oleh manusia-manusia rusak. Mereka menganggap orang-orang yang mengamalkannya dianggap aneh oleh kaumnya.
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah haditsnya,
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 232)]
Islam asing dan aneh di mata manusia karena menyalahi hawa nafsu dan kejahilan mereka. Ketika seorang mengamalkan sunnah (ajaran) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di awal munculnya Islam, maka semua orang tersentak kaget dan heran sebagaimana kondisi di akhir zaman sekarang.
Jika sekarang ada pengikut sunnah (yakni, petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengamalkan sunnah, seperti memanjangkan jenggot, dan menggunakan jilbab besar beserta cadar, maka banyak kaum muslimin yang berteriak kaget, dan menganggapnya asing alias aneh, menakutkan, ketinggalan zaman, dan lainnya!! Keasingan ini terjadi karena kebanyakan manusia menjauhi sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kenapa mereka jauh? Mereka jauh karena kejahilan dan hawa nafsu menyelimuti mereka. Tapi keasingan ini sebenarnya adalah sunnatullah (ketentuan dari Allah -Azza wa Jalla-).
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibiy -rahimahullah- berkata, “Keterasingan ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya, yakni pengikut kebenaran dibandingkan pengusung kebatilan adalah jumlahnya sedikit berdasarkan firman-Nya -Ta’ala-,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-. (QS. Yusuf: 103)
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’ : 13)
(Demikianlah) agar Allah membenarkan apa yang Dia janjikan kepada Nabi-Nya berupa kembalinya sifat keterasingan itu kepada Islam. Jadi, keterasingan itu tidak akan terjadi, kecuali karena hilangnya pengikut (kebenaran) atau sedikitnya mereka. Hal itu terjadi saat perkara yang ma’ruf berubah menjadi kemungkaran; kemungkaran berubah (dianggap) sebagai sesuatu yang ma’ruf; Sunnah dianggap bid’ah, dan bid’ah dianggap sunnah. Akhirnya, pengikut Sunnah diperhadapkan dengan cacian dan sikap keras sebagaimana nasibnya dahulu para pengusung bid’ah, karena adanya keinginan para pengusung bid’ah itu agar symbol kesesatan bias bersatu (kuat)”.[Lihat Al-I'tishom (1/12), tahqiq Masyhur Hasan Salman, cet. Maktabah At-Tauhid, 1421 H]
Jumlah kaum muslimin pada hari ini amat banyak. Hanya saja yang kita sesalkan, mayoritas dari mereka tidak mengetahui Islam yang pernah dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan disebarkan oleh para sahabat.
Lihatlah, ketika mereka diajak untuk meninggalkan kesyirikan, maka mereka menuduh kita sebagai “Wahabi”. Perkara ini amat jelas jika ada seorang yang bertauhid melarang kaum muslimin datang ke kuburan orang-orang “sholeh”, karena mereka kesana untuk melakukan kesyirikan, seperti bernadzar di kubur, mengharap pertolongan dan kesembuhan dari penghuni kubur, meminta dan berdoa kepada mayit. Inilah yang dilarang dalam Islam dalam firman-Nya,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyeru (berdoa) kepada seseorangpun di dalamnya di samping (menyeru) Allah”. (QS. Al-Jin: 18)
Perhatikan, saat kita menasihati mereka untuk meninggalkan maulid karena hal itu tidak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka manusia akan kiamat. Bukankah Allah -Ta’ala- berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maa’idah: 3)
Bila agama telah sempurna, maka kita tidak perlu menambahinya dengan amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama -seperti, maulid-, sebab amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama akan tertolak, tidak mendapatkan pahala, bahkan akan dimintai pertanggungjawaban!!
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”.[HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (2697)]
Para pembaca yang budiman, para wanita ketika diajak mengenakan pakaian wanita muslimah yang syar’iy, maka mereka menolaknya dengan seribu alasan. Sehingga kita tidak bisa lagi membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir. Jika kalian berbelanja di mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya, maka kalian akan menyaksikan wanita-wanita kita berseliweran dan bekerja disana. Awal kita melihat mereka, kita menyangkanya wanita kafir, karena ia tidak berjilbab, dan ia bersolek ala wanita kafir. Tapi kita akan terperanjat ketika mengetahui bahwa ia adalah muslimah. Bukankah seorang wanita diperintahkan mengenakan jilbab yang tebal dan lebar sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 59).
Ketika para wanita kita diajak berjilbab yang syar’iy, maka mereka enggan dan menolak dengan dalih “kurang bebas”, “tidak modern, kuno!!”, “panas dan pengap”, “tidak sesuai gaya anak muda”, dan sederet alasan lemah.
Lebih ironis lagi, wanita-wanita ini muak dan sinis saat melihat saudari-saudari mereka bercadar dan mengenakan jilbab lebar dan tebal. Subhanallah, sudah salah, malah menyalahkan lagi orang yang tidak salah!!
Para pembaca yang budiman, inilah fenomena yang kita lihat di masyarakat Islam. Banyaknya orang-orang Islam yang melakukan pelanggaran. Sehingga semua hal ini menjadi sebab dan pemicu mereka membenci, menjauhi, dan memusuhi setiap orang yang memperjuangkan kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian hari-hari yang penuh kesusahan dan tekanan jiwa bagi para penegak kebenaran. Di hari-hari seperti inilah, orang-orang yang setia dan tegar memegang agama Islam yang murni, membutuhkan kesabaran.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إن من ورائكم أيام الصبر ، للمتمسك فيهن يومئذ بما أنتم عليه أجر خمسين منكم
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Orang-orang yang berpegang teguh di dalamnya pada hari itu dengan sesuatu yang kalian pijaki, mendapatkan pahala 50 orang diantara kalian”. [HR. Ibnu Nashr Al-Marwaziy dalam As-Sunnah (no. 32). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 494)]
Sungguh di hari-hari ini kita membutuhkan kesabaran dalam mengamalkan sunnah (petunjuk) Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di tengah keterasingan ajaran Islam di tengah pemeluknya sendiri. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tegar dan konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh ajaran Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang murni sampai kita menjumpai beliau di telaganya, amiin…

sumber : www.almakassari.com

Tidak ada komentar: