Jumat, 31 Mei 2013

Perkara-Perkara Dalam Menuntut ilmu [pic]






Wanita Perhiasan Dunia [pic]


Doa Agar Terhindar Dari Syirik [pic]


Bacalah Al-Qur'an [Pic]


Sebaik-baik Salaf (pendahulu) Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [Pic]


Tali Iman Yang Paling Kuat [pic]


AGAMA INI NASEHAT [pic]


CARA SHALAT TAUBAT



بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu  dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ رَجُلٍ يَذْنَبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّيْ (فِيْ رِوَايَةٍ : ثُمَّ يُصَلِّيْ رَكْعَتَيْنِ) ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ {وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ}
“Tidak seorangpun melakukan suatu dosa lalu ia bangkit untuk berthoharah lalu sholat (Dalam satu riwayat : kemudian dia sholat dua raka’at) kemudian memohon ampun kepada Allah kecuali Allah akan mengampuninya. Lalu beliau membaca ayat ini (Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui)”.

Dikeluarkan oleh : Ibnu Abi Syaibah 2/159/7642, Ahmad 1/2, 8 dan 10 dan dalam Fadho`il Ash-Shohabah no. 142 dan 642, Al-Humaidy 1/2 dan 4, Ath-Thoyalisy no. 1, Abu Daud 2/86/1521, At-Tirmidzy 2/257/406 dan 5/228/3006, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 6/109/10247, 6/110/10250 dan 6/315/11078 dan dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 414 dan 417, Ibnu Majah 1/446/1395, Husain bin Hasan Al-Marwazy dalam Zawa`iduz Zuhd no. 1088, Ibnu Jarir dalam tafsirnya 4/96, Abu Ya’la no.1 dan 11-15, Ibnu Hibban 2/389-390/623 -Al-Ihsan-, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 5/401-402/7077-7078, Dhiya` Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 1/82-86/7-11 dan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil 1/430. Semuanya dari jalan ‘Utsman bin Al-Mughiroh dari ‘Ali bin Rabi’ah dari Asma` bin Al-Hakam dari Ali bin Abi Tholib….
Dihasankan oleh Ad-Dzahaby dalam Tadzkiratul Huffazh 1/11 dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.


        Dan berkata Ibnu ‘Adi setelah menyebutkan dua jalan bagi hadits diatas : “Hadits ini jalannya hasan dan saya berharap ia adalah shohih”. Dan Imam Ad-Daraquthny dalam ‘Ilal-nya 1/176-180 menyebutkan beberapa perselisihan tentang hadits di atas lalu beliau menegaskan bahwa jalan ‘Utsman bin Al-Mughirah yang paling baik sanadnya dan paling Shohih.
Dan berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar tentang hadits di atas dalam biografi Asma` bin Al-Hakam dari Tahdzibut Tahdzib : “Jayyidul Isnad (Baik sanadnya)”.
Dan juga dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohih At-Targhib Wat Tarhib 1/427/680.
Dan ‘Utsman bin Al-Mughirah ada mutaba’ah (penguat/pendukung) dari Mu’awiyah bin Abil ‘Abbas sebagaimana dalam riwayat Ath-Thobarany di Mu’jamul Ausath 1/185/584, Abu Bakr Al-Isma’ily dalam Mu’jam Syuyukh-nya 2/697 dan Al-Khothib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwam Al-Jam’i wat Tafriq 2/490.

 Hadits Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَذْنَبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُصَلِّيْ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا مَفْرُوْضَةً أَوْ غَيْرَ مَفْرُوْضَةٍ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ
“Tidak seorang muslimpun melakukan dosa lalu ia berwudhu kemudian sholat dua atau empat raka’at, wajib maupun selain wajib kemudian ia memohon ampun kepada Allah kecuali Allah akan mengampuninya”.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany 4/83/2040 dan Ath-Thobarany dalam Mu’jamul Ausath 5/186/5026 dan konteks di atas dari riwayatnya melalui jalan Abu Sahl Shodaqoh bin Abi Sahl Al-Hunna`i dari Katsir bin Yasar Abul Fadhl dari Yusuf bin Abdillah bin Sallam dari Abu Darda`.
Pembahasan
Berkata Ath-Thobarany rahimahullah : Shodaqoh bin Abi Sahl bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini.
Dan Al-Haitsamy dalam Majma’uz Zawa`id 1/301 menyatakan hal yang sama lalu berkomentar tentang Shodaqah : “Saya tidak menemukan yang menyebutkannya”.
Demikian perkataan beliau, padahal biografi Shodaqah ada dalam At-Tarikh Al-Kabir 2/2/297 karya Al-Bukhary dan Ta’jilul Manfa’ah hal. 185-186 karya Ibnu Hajr. Dan tidak disebut pada Shodaqoh ini pujian maupun celaan berarti ia adalah Majhul Hal (tidak dikenal keadaannya). Maka hadits di atas adalah lemah. Tapi ia adalah syahid (pendukung) yang sangat kuat bagi hadits Abu Bakr walaupun ada perbedaan lafazh.

Hadits Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَنْبَغِيْ لِلْمُذْنِبِ أَنْ يَتُوْبَ مِنَ الذُّنُوْبِ ؟ قَالَ : يَغْتَسِلُ لَيْلَةَ الْإِثْنَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَيُصَلِّيْ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ , وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ مَرَّةً, وَعَشَرَ مَرَّاتٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ , ثُمَّ يَقُوْمُ وَيُصَلِّيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ, وَيُسَلِّمُ وَيَسْجُدُ , وَ يَقْرَأُ فِيْ سُجُوْدِهِ أَيَةَ الْكُرْسِيِّ مَرَّةً, ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ , وَيَسْتَغْفِرُ مِائَةَ مَرَّةٍ , وَيُصَلِّيْ عَلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ مَرَّةٍ, وَيَقُوْلُ مِائَةَ مَرَّةٍ : لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ , وَيُصْبِحُ مِنَ الْغَدِ صَائِمًا, وَيُصَلِّيْ عِنْدَ إِفْطَارِهِ رَكْعَتَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ , وَخَمْسَ مَرَّاتٍ : (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) وَيَقُوْلُ : يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ تَقَبَّلْ تَوْبَتِيْ كَمَا تَقَبَّلْتَ مِنْ نَبِيِّكَ دَاوُدَ, اعْصِمْنِيْ كَمَا عَصَمْتَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا,  وَأَصْلِحْنِيْ كَمَا أَصْلَحْتَ أُوْلَيَائَكَ الصَّالِحِيْنَ, اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَادِمٌ عَلَى مَا فَعَلْتُ , فَاعْصِمْنِيْ حَتَّى لَا أُعْصِيَكَ , ثُمَّ يَقُوْمُ نَادِمًا, فَإِِنَّ رَأْسَ مَالِ التَّائِبِ النَّدَامَةُ, فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ يَقْبَلُ اللهُ تَوْبَتَهُ وَقَضَى حَوَائِجَهُ, وَيَقُوْمُ مِنْ مَقَامِهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ الذُّنُوْبَ كَمَا غَفَرَ لِدَاوَدُ عَلَيْهِ السَّلَامُ , وَبَعَثَ اللهُ إِلَيْهِ أَلْفَ مَلَكٍ يَحْفَظُوْنَهُ مِنْ إِبْلِيْسَ وَجُنُوْدِهِ إِلَى أَنْ يُفَارِقَ الرُوْحُ جَسَدَهُ وَلَا يَخْرُجُ مِنْ الدُّنْيَا حَتَّى يَرَى مَكَانَهُ مِنَ الْجَنَّةِ, وَيَقْبِضُ اللهُ رُوْحَهُ وَاللهُ عَنْهُ رَاضٍ, وَيُغَسِّلُهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ ثَمَانِيْنَ أَلْفَ مَلَكٍ , وَيَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ, وَيَكْتُبُوْنَ لَهُ الْحَسَنَاتِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ, وَيُبَشِّرُهُ مُنْكَرٌ وَنَكِيْرٌ بِالْجَنَّةِ وَفَتَحَ اللهُ فِيْ قَبْرِهِ بَابَيْنِ مِنْ الْجَنَّةِ , وَيَدْخَلُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ, وَيُجَاوِرُ فِيْهَا يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا عَلَيْهِ السَّلَامُ.
“Wahai Rasulullah, bagaimana seharusnya orang yang berdosa bertaubat dari dosa-dosanya?. Beliau menjawab : “Ia mandi pada malam senin setelah witir dan sholat dua belas raka’at, ia baca pada setiap raka’at surah Al-Fatihah dan Qul yaa ayyuhal kaafirun satu kali sepuluh kali Qul Huwallahu Ahad lalu ia berdiri dan sholat empat raka’at kemudian salam lalu sujud dan membaca dalam sujudnya ayat Kursi satu kali lalu mengangkat kepalanya dan Istighfar seratus kali, membaca sholawat seratus kali serta membaca seratus kali ; Laa haula wa laa quwwata illa billah. Dan dibesok paginya ia berpuasa dan ketika berbuka ia sholat dua raka’at dengan (membaca) Al-Fatihah dan lima kali Qul Huwallahu Ahad dan berdoa : Wahai yang membolak-balikan hati, terimalah taubatku sebagaimana Engkau menerimanya dari nabi-Mu Daud, jagalah saya sebagaimana Engkau telah menjaga Yahya bin Zakariya, dan perbaikilah saya sebagaimana Engkau telah memperbaiki para wali-Mu yang sholih, Ya Allah, sesungguhnya saya menyesali apa yang telah saya perbuat maka jagalah saya sehingga saya tidak bermaksiat kepada-Mu. Lalu ia berdiri dalam keadaan menyesal dan modal orang yang bertaubat adalah penyesalan. Siapa yang mengerjakan hal tersebut maka Allah akan menerima taubatnya dan menunaikan hajatnya dan ia berdiri dari tempatnya sedang Allah telah mengampuninya sebagaimana (Allah) telah  mengampuni Daud ‘alaihissalam, Allah mengirim kepadanya seribu malaikat menjaganya dari iblis dan bala tentaranya sampai ruhnya berpisah dengan jasadnya, tidaklah ia keluar dari dunia sampai ia melihat tempatnya di Sorga, Allah mencabut ruhnya dan Allah Ridho kepadanya, Jibril ‘alaihissalm bersama delapan puluh ribu malaikat akan memandikannya, memintakan ampun untuknya, menulis untuknya berbagai kebaikan sampai hari kiamat, Munkar dan Nakir akan memberinya kabar gembira dengan Sorga, Allah bukakan dalam kuburnya dua pintu sorga, dia akan masuk sorga tanpa hisab dan ia akan berdekatan dengan Yahya bin Zakariya”. Dikeluarkan oleh Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’at no. 1020 (Cet. Adhwa` As-Salaf).
Pembahasan
Berkata Ibnul Jauzy setelah meriwayatkan hadits di atas : “Ini adalah hadits palsu sama sekali tidak diucapkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan tidaklah diriwayatkan oleh Abu Dzar dan tidak pula Zaid bin Wahb dan dalam sanadnya ada (rawi-rawi) majhul (tidak dikenal) dan orang yang memalsukannya telah berbuat bid’ah dan kelancangan terhadap syari’at dengan hal-hal yang dingin (baca : keji). Berkata Abu ‘Amir Al-Hafizh : “ini adalah hadits BATIL MUNGKAR tidak ada pendukung bagi rawinya”. Dan penekanan letak pemalsuan adalah pada orang yang berada dibawa Jarir”.

Jalan Mursal
Dari Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا ثُمَّ تَوَضَّأ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى بَرَازٍ مِنَ الْأَرْضِ فَصَلَّى فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْ ذَلِكَ الذَّنْبِ إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ
“Tidak seorang hambapun berbuat dosa lalu ia berwadhu dan memperbaik wudhunya kemudian keluar ke tanah lapang lalu sholat padanya dua raka’at dan memohon ampun kepada Allah dari dosa itu kecuali Allah memberi ampun untuknya”.
Dikeluarkan Oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 5/403/7081 dari jalan Ahmad bin ‘Abdul Jabbar Al-‘Uthoridy dari Hafsh bin Ghiyats dari ‘Asy’ats bin ‘Abdul Malik dari Al-Hasan….

Pembahasan
Hadits ini adalah Mursal (si perawi lansung meriwayatkan dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sedang ia tidak berjumpa dengan beliau) dan hadits Mursal di kalangan Ahli hadits adalah hadits lemah. Dan hadits Mursal ini semakin lemah karena Ahmad bin ‘Abdul Jabbar dho’iful hadits (lemah haditsnya).

Kesimpulan
Dari uraian di atas bisa ditarik beberapa kesimpulan :
  1. Jalan yang kuat dalam sholat taubat hanya hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
  2. Bentuk pelaksanaannya ; berwudhu dengan baik lalu sholat dua raka’at kemudian setelah itu Istigfar (memohon pengampunan) kepada Allah.
  3. Karena tidak ada tuntunan khusus tentang bagaimana sholat dua raka’at itu maka asalnya sama dengan sholat sunnah lainnya.
  4. Tidak ada riwayat yang shohih yang menunjukkan bacaan surah setelah Al-Fatihah pada dua raka’at tersebut maka asalnya boleh membaca apa saja dari surah yang mudah baginya.
  5. Berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfatul Ahwadzy 2/368 (Cet. Darul Kutub) : “Yang diinginkan dengan Istighfar adalah bertaubat disertai penyesalan, meninggalkan (dosa tersebut), ber-‘Azm (berniat dengan sungguh-sungguh) untuk tidak mengulanginya selama-lamanya dan mengembalikan hak-hak (orang lain) kalau memang hal tersebut terjadi”.
 wallahu a'lam

BIOGRAFI SINGKAT Asy-Syaikh 'Utsman As-Salimi Al- 'Utmi Hafizahullah

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم  


Tempat Lahir Syaikh Utsman
Muk’id adalah kampung yang terletak di daerah ‘Utmah di negeri Yaman. Pada tahun 1383 H bertepatan dengan tahun 1963 M, terlahirlah di kampung ini seorang ulama  Yaman yang bernama Syaikh Utsman bin Abdillah bin Ahmad bin Muhammad as-Salimy al-’Utmy. Beliau lahir ditengah keluarga yang cinta pada ilmu agama. Diantara keutamaan yang Allah berikan kepada keluarga beliau, Allah menjadikan sekitar 30 saudara beliau sebagai penghafal al-qur’an.

Perjalanan Menuntut Ilmu
Setelah menyelesaikan masa pendidikan di sekolah dasar, beberapa saudara Syaikh Utsman menganjurkan agar beliau menuntut ilmu agama di Darul Hadits Dammaj, Yaman. Pondok pesantren Ahlus Sunnah pertama kali di Yaman, yang didirikan dan diasuh oleh Muhaddits Yaman (Ahlu Haditsnya Yaman), Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah.
Beliau telah membaca dan mempelajari beberapa kitab kepada Syaikh Muqbil rahimahullah. Diantara kitab tersebut adalah :
  • Kitab Shohih Bukhori
  • Kitab Shohih Muslim
  • Tafsir Ibnu Katsir
  • Shohih Musnad
  • Al-Jami’ Shohih
  • Ahadits Mu’allah Dhohiruha Shihhah
  • Mustadrok Hakim
  • As-Shorim Mankiy
  • Syarah Ibnu Aqil
  • Fathul Mughits
Selain Syaikh Muqbil rahimahullah, beliau juga pernah belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy hafidhohullah. Beliau telah menyelesaikan beberapa kitab dihadapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushoby hafidhohullah, diantaranya adalah kitab Risalah fi ushul fiqh karya Imam Syafi’i.
Dan pernah mempelajari kitab Syarah Qotrun Nada dan Syarah Ibnu ‘Aqil kepada Syaikh Abdul Mushowwir bin Muhammad bin Gholib Al-Arumy Al-Ba’dany rahimahullah.
Karya Tulis Syaikh Utsman
Syaikh Utsman hafidhohullah mempunyai beberapa hasil karya tulis, diantaranya :
  • Tahqiq (penelitian) Kitab Tauhid karya Ibnu Mandah.
  • Tahqiq sebagian Kitab Tafsir Ibnu Katsir. Beliau termasuk orang yang membantu Syaikh Muqbil rahimahullah dalam mentahqiq kitab ini.
  • Tahqiq kitab faiqul kisa’ karya Imam Syaukaniy.
  • Kitab Ghoyatul Ma’mul syarah kitab shohih musnad min asbabil nuzul.
  • Al-misk wa raoihan, kumpulan hadits-hadits yang dishohihkan dua Imam Ahlul Hadits zaman ini, Syaikh Al-Albaniy dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy.
  • Syarah Al-Jami’ Shohih, Insya Allah kitab ini akan dicetak dalam waktu dekat.
  • Kitab kecil yang berjudul “asbabul ghola war roho
  • Kitab kecil yang berjudul “al-barqu war riihu wal mathor
  • Kitab Tarbiyatul Aulad
Setelah belajar di Darul Hadits Dammaj, beliau melanjutkan dengan berdakwah di tempat kelahiran beliau. Sekitar 10 tahun beliau berdakwah dikampung halamannya. Kemudian pada tahun 1428 H, beliau menetap dan melanjutkan dakwahnya di Darul Hadits Dzamar, Yaman.

                                                                Pujian sebagian ulama
Berkata Syaikh Muqbil rahimahullah, “Utsman adalah seorang syaikh yang berbudi baik, wara’, zuhud dan bertakwa. Akh (saudara) Utsman -semoga Allah menjaganya-, dalam waktu yang singkat, Allah telah memberikan barakah pada da’wahnya. Sehingga para masyarakat dapat menerima dakwah beliau.
Dalam muqoddimah kitab tanwirudh dhulumat bikasyfi mafasid wa syubuhatil intikhobat karya Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, berkata Syaikh Muqbil dalam muqoddimah kitab tersebut, “Dan diantara ulama ahlus sunnah yang memiliki budi pekerti, sezaman dengan kita dan berdiri menghadapi orang-orang sesat adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Robi’ bin Hadi dan yang lainnya. Adapun yang di Yaman adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushoby, Syaikh Abdul Aziz al-Buro’i, Syaikh Abdullah bin Utsman ad-Dzamary, Syaikh Utsman bin Abdillah al-Utmy as-Salimy, Syaikh Yahya al-Hajury, Syaikh Ahmad bin Sa’id al-Hujary dan Syaikh Abdur Roqib al-Ibby”.
Beliau juga berkata sebagaimana dalam kitab biografi Syaikh Muqbil, “Utsman bin Abdillah Abu Abdillah as-Salimy al-Utmy termasuk salah seorang yang nampak keilmuannya dikalangan teman-temannya. Dan beliau yang menggantikan saya untuk mengajar ketika saya tidak bisa hadir atau sakit……”.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pernah ditanya, “apakah anda menasehatkan agar mengambil ilmu dari Syaikh Utsman as-Salimy?”
Beliau menjawab, “Ya, beliau termasuk ulama ahlus sunnah. Beliau memiliki/mengasuh pesantren dan para penuntut ilmu di kota Dzamar. Dan memiliki karya tulis yang bagus –semoga Allah membalasnya dengan kebaikan -, beliau berdakwah, mengajar dan menulis karya tulis. Wabillahi taufiq“.
(diringkas dari sebuah tulisan yang berjudul “tarjamah fadhilatus syaikh utsman as-salimy”, tulisan ini dapat didownload di website ulama yaman)

Selasa, 21 Mei 2013

[Info Ibukota] ULAMA AHLUSSUNNAH DARI YAMAN AKAN MENGISI TABLIGH AKBAR DI JAKARTA, dengan Tema: KEINDAHAN & KEMUDAHAN ISLAM, Sabtu, 15 Rajab 1434 / 25 Mei 2013 - Bismillahirrahmanirrahim. Hadirilah, InsyaAllahu, Tabligh Akbar di Jakarta bersama Ulama Timur Tengah: - Asy Syaikh 'Utsman bin 'Abdillah As-Salimi Al-'Utmi (Dzamar, Yaman) Tema: KEINDAHAN & KEMUDAHAN ISLAM. Hari: Sabtu, 15 Rajab 1434 / 25 Mei 2013. Jam 09.00 - Selesai (WIB) Tempat: Masjid Al-I'tisham, Jln. Sudirman, Jakarta. (Belakang Hotel Shangri-La & Dekat Halte Dukuh Atas) Target Peserta: Umum (Muslimin & Muslimah). GRATIS Siaran Langsung di: www.annashradio.com & www.syiartauhid.info

Selasa, 07 Mei 2013

TABLIGH AKBAR MASYAIKH TIMUR TENGAH

iLham Bin Idris: TABLIGH AKBAR MASYAIKH TIMUR TENGAH: MAKA S SAR - TABLIGH AKBAR BERSAMA ULAMA AHLUSSUNNAH DARI YAMAN HADIRILAH! Tabligh Akbar Ulama Timur Tengah ...

TABLIGH AKBAR MASYAIKH TIMUR TENGAH





MAKASSAR - TABLIGH AKBAR BERSAMA ULAMA AHLUSSUNNAH DARI YAMAN

HADIRILAH!
Tabligh Akbar Ulama Timur Tengah

"JALAN PINTAS MENUJU SURGA"

Bersama:
Syaikh Utsman As-Salimy (ulama Yaman)
Syaikh Abdullah Al-Mar'iy (ulama Yaman)

insya Allah Hari Rabu, 19 Rajab 1434 H / 29 Mei 2013
Ba'da Zhuhur - Jelang Maghrib

di Masjid Al-Markaz Al-Islami
Jend. M. Jusuf Makassar


Disiarkan Langsung di
www.dzulqarnain .net

 

 

Membongkar Kesesatan Syi’ah


Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri—terutama dari sisi akidah—perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan.
Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus 5/405, karya az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali al-Awaji)
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib z lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (al-Fishal fil Milali wal Ahwa wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami sejumlah pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (al-Milal wan Nihal, hlm. 147, karya asy-Syihristani)
Tampaknya, yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus-menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah رَافِضَة, diambil dari رَفَضَ – يَرْفُضُ yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna تَرَكَ – يَتْرُكُ, meninggalkan (al-Qamus al-Muhith, hlm. 829).
Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan Umar c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela sekaligus menghina para sahabat Nabi n. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah al-Jumaili)
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar c.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari  t berkata, “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib z atas seluruh sahabat Rasulullah n, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar c, serta memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar c. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137)
Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.
Rafidhah sendiri terpecah menjadi beberapa cabang. Namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah al-Itsna ‘Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi paham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Asal ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (akidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.
a.    Tentang Al-Qur’an
Di dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq), ia berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, hlm. 239—240, dari Abu Abdillah ia berkata, “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal Qur’an, hlm. 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
b.    Tentang sahabat Rasulullah n
Diriwayatkan oleh “imam al-jarh wat ta’dil” mereka (al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hlm. 12—13) dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir) bahwa ia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata, “Siapakah tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat ke-144. (Dinukil dari asy-Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil Islam, hlm. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (al-Kafi, 8/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 45, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir al-Husaini al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 46)
Adapun sahabat Abu Bakr dan ‘Umar c, dua manusia terbaik setelah Rasulullah n, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka….”
Yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah c (pen.). (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 18, karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ah al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab z, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan, kesucian, hari barakah, serta hari sukaria. (al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah n lainnya, mereka yakini sebagai pelacur—na’udzu billah min dzalik—. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hlm. 57—60) karya ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas c terhadap ‘Aisyah x, “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah….” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hlm. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas t berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi n namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad n ) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hlm. 580)
c. Tentang imamah (kepemimpinan umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari al-Kulaini dalam al-Kafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum, dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata, “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata, “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka, red.) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib z dan keturunannya, sesuai dengan nash wasiat Rasulullah n. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin, seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia (wilayah) Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 16—17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia al-Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman—baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, hlm. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu per satu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d.    Tentang taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq (kemunafikan), dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, hlm. 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar al-A’jami, “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9/10 dari agama ini adalah taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196)
Oleh karena itu, al-Imam Malik t ketika ditanya tentang mereka, beliau berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27—28, karya al-Imam adz-Dzahabi t)
e.    Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, al-Qummi ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 85, berkata, “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah.” Kemudian dia menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib z) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘alar Riwayatit Tarikhiyyah, hlm. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)
f.    Tentang al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa al-Bada’ ini terjadi pada Allah l. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam al-Kafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdillah (ia berkata), “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252)
Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen.) di masa Rasulullah n, serta lebih utama dari masyarakat Kufah dan Irak di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, hlm. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hlm. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili di dalam kitabnya al-Intishar Lish Shahbi wal Aal (hlm. 100—153) menukilkan sekian banyak perkataan ulama tentang mereka. Namun karena sangat terbatasnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1.    Al-Imam ‘Amir asy-Sya’bi t berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (as-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin al-Imam Ahmad)
2.    Al-Imam Sufyan ats-Tsauri t ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar c, beliau berkata, “Ia telah kafir kepada Allah l.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
3.    Al-Imam Malik dan al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumallah, telah disebut di atas.
4.    Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah g) itu sebagai orang Islam.” (as-Sunnah, 1/493, karya al-Khallal)
5.    Al-Imam al-Bukhari t berkata, “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi (penganut Jahmiyah, red.) dan Rafidhi (penganut Syiah Rafidhah, red.), atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh, red.). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)
6.    Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi  t berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah n, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita adalah haq dan Al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah para sahabat Rasulullah n. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah (orang-orang zindiq).” (al-Kifayah, hlm. 49, karya al-Khathib al-Baghdadi t)
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawab.